Pada era globalisasi ini hampir setiap negara di dunia sudah menjadi bagian dari perekonomian global. Transfer pricing menjadi isu penting baik bagi Wajib Pajak maupun otoritas pajak. Terutama mempengaruhi penentuan negara mana yang akan diuntungkan dalam memberikan pajak atas laba perusahaan multinasional.

Buat kita-kita yang notabene masyarakat umum istilah transfer pricing cukup asing. Namun ini relevan bagi orang-orang yang bergerak dalam bidang finance, accounting, dan para pelaku usaha. Transfer pricing adalah kebijakan perusahaan untuk menentukan harga transfer suatu transaksi baik berupa barang, jasa, harta tak terwujud, atau pun transaksi finansial yang dilakukan oleh perusahaan.

Berikut ini adalah tujuan transfer pricing:

  • Transfer pricing digunakan untuk memaksimalkan penghasilan global setelah dikurangi pajak, mengamankan posisi kompetitif, dan sebagai evaluasi kinerja anak/ cabang perusahaan mancanegara.
  • Transfer pricing untuk mengurangi risiko moneter, mengatur cash flow anak/cabang perusahaan yang memadai, mengurangi beban pengenaan pajak, dan bea masuk.
  • Transfer pricing digunakan untuk mengurangi risiko pengambilalihan pemerintah.

Berdasarkan hasil penelusuran OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) mengungkapkan bahwa sekitar 60% dari transaksi perdagangan dan keuangan lintas negara (cross border transaction) dilakukan antar perusahaan dalam suatu kelompok perusahaan multinasional. Hal ini tentu menjadi perhatian khusus bagi pemerintah. Alih-alih perusahaan bisa saja menggunakan praktik transfer pricing sebagai upaya untuk “menghindari pajak”. Dari sudut pandang pemerintah menganggap bahwa transfer pricing penting dan berpengaruh terhadap penerimaan negara.  

Sebagai contoh, kalian tentu tau Starbucks. Kedai kopi global ini melakukan praktik transfer pricing. Berdasarkan penelusuran yang dilakukan, ternyata pada 2011 Starbucks Inggris sama sekali tidak membayar pajak perusahaan. Padahal mereka tercatat mencapai penjualan sebesar £398 juta. Selain itu mereka juga mengaku rugi sejak tahun 2008, dengan jumlah kerugiannya mencapai £112 juta atau sekitar Rp1,7 triliun. Padahal dalam laporan kepada investornya di Amerika Serikat, Starbucks mengatakan bahwa mereka memperoleh keuntungan yang besar di Inggris, bahkan penjualannya selama 3 tahun (2008- 2010) mencapai £1,2 miliar atau sekitar Rp18 triliun. Dengan kerugian ini, Starbucks Inggris tidak pernah membayar pajak korporasi. Bahkan selama 14 tahun beroperasi di Inggris, Starbucks hanya membayar pajak sebesar £8,6 juta. Kasus ini menjadi contoh nyata, dimana pemerintah merasa dirugikan. Perusahaan dianggap menggunakan transfer pricing untuk “menghindari pajak”.

Di Indonesia sendiri, berdasarkan hasil penelusuran Dirjen Pajak menyatakan bahwa negara berpotensi telah kehilangan 1.300 Triliun Rupiah akibat dari praktik transfer pricing. Oleh sebab itu, pemerintah Indonesia sudah mengantisipasinya lewat peraturan. Pemerintah Indonesia pada 2016 mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 213 / PMK. 03/ 2016 tentang Jenis Dokumen dan/ atau informasi tambahan yang wajib disimpan oleh wajib pajak yang melakukan transaksi dengan para pihak yang mempunyai hubungan istimewa, dan tata cara pengelolaannya. Berdasarkan PMK tersebut perusahaan harus menyertakan Transfer Pricing Document (TP Doc) pada saat menyerahkan SPT Tahunan. TP Doc menurut PMK merupakan “dokumen yang diselenggarakan oleh Wajub Pajak sebagai dasar penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (ALP) dalam penentuan harga transfer yang dilakukan oleh Wajib Pajak”. TP Doc ini diperlukan untuk mengedepankan transaksi yang transparan bagi para pelaku usaha. Tentunya berpengaruh dalam besarnya pajak yang harus dibayar perusahaan. Adanya peraturan ini tentu membuat setiap perusahaan harus memiliki kesiapan. Perusahaan tetap harus transparan, taat pajak, tetapi jangan sampai merugi juga dong.

Kamis, 2 November 2017 Hendrian K. Djaya hadir sebagai trainer dalam program Excellunch. Ia juga memaparkan tentang transfer pricing. Excellunch adalah program excellence.asia yang disiarkan secara live streaming di Youtube Channel excellence.asia setiap hari Kamis lunch time jam 12.00 – 13.00 siang. Hendrian K. Djaya merupakan seorang trainer dari Ark Consults. Ia memiliki pengalaman dalam bidang konsultasi manajemen lebih dari 13 tahun sebagai konsultan eksternal, juga konsultan internal dan pengembangan bisnis dalam praktik industri.  Hendrian K. Djaya memiliki pengalaman  yang kuat dalam strategi dan pengembangan operasional di berbagai sektor termasuk konsumen, keuangan dan perbankan, manufaktur, agribisnis, energi juga dengan badan usaha milik negara. Ia juga berbagi tentang transfer pricing.

Pada Excellunch Hendrian K. Djaya mengungkapkan bahwa metode-metode untuk melakukan pengkajian terhadap transfer pricing tidaklah mudah. Dirjen Pajak sendiri menerapkan sanksi yang berat bagi para pelaku usaha yang tidak taat pajak. “Kalau sampai perusahaan bermasalah dengan TP Doc, berdasarkan peraturan bahkan 50% asetnya bisa ditahan sementara lho,” ungkap Hendrian K. Djaya. Hal ini tentu harus disikapi secara bijak oleh para pelaku usaha. Ia mengajak bagi para pengusaha untuk melihat transfer pricing ini bukan sebagai ancaman ataupun ketakutan.

“Kita gak perlu khawatir dengan transfer pricing. Kita harus melihatnya sebagai a balancing act. Para pelaku usaha dapat menyikapinya secara bijak dengan memberikan informasi yang akurat kepada pemerintah. Bisnis memiliki panduan dalam menjalankan interaksi.” papar Hendrian K. Djaya.

Hendrian K. Djaya menyampaikan bahwa seringkali perusahaan tidak siap dalam dokumen-dokumen transfer pricing. “Kalau udah akhir tahun nih, perusahaan sering banget keteteran karena gak punya TP Doc,” ungkapnya. Ketidaksiapan perusahaan dalam TP Doc selama satu tahun terakhir menyebabkan timbulnya permasalahan, khususnya terkait dengan perpajakan. Apabila hal ini terjadi, maka perlu dilakukan pengkajian terhadap transfer pricing perusahaan. Pengkajian ini dilakukan mulai dari mengumpulkan berbagai informasi transaksi dan melakukan benchmarking  dengan perusahaan yang sejenis. Hingga melakukan functional analysis, economic analysis, dan financial analysis untuk mengetahui besarnya risiko maupun aset perusahaan.

Hendrian K. Djaya mengajak para pelaku usaha untuk mengantisipasi masalah transfer pricing dengan menerapkan Transfer Pricing Planning. Perusahaan harus bisa melakukan perencanaan terhadap transaksi yang akan dilakukan sejak dimulainya usaha. Metode tersebut dapat dilakukan sebagai salah satu manajemen risiko perusahaan.
“Pertanyaannya bagaimana strategi dan metode yang tepat yang harus dilakukan oleh para pelaku usaha terkait dengan transfer pricing? Nah, kalian bisa mempelajari lebih mendalam melalui courses dalam excellence.asia,” ungkap Hendrian K. Djaya.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

For security, use of Google's reCAPTCHA service is required which is subject to the Google Privacy Policy and Terms of Use.

I agree to these terms.